Seorang ibu meminta anaknya membatalkan pinangan yang telah diterima
oleh calon mempelai wanita. Anaknya tentu saja sangat terkejut dan
dengan lembut bertanya pada ibunya mengapa.
"Ibu malu, Nak. Ayah calon(istri)mu itu seorang pembesar di lembaga, sedangkan Ibu cuma seorang petani."
Si Ibu mengungkapkan kegelisahannya. Perasaan tidak sederajat dengan besan ternyata ujung masalahnya.
Si Anak lantas bercerita,
"Jika dia seorang pembesar yang punya jabatan, dan karena itu bisa membantu orang lewat lembaganya, Ibu jauh lebih hebat dari dia. Karena Ibu sendirian saja bisa membantu banyak orang. Ibu memanggul sendiri beras-beras yang ingin Ibu berikan pada orang lain tanpa harus membuat sebuah lembaga. Ibu telah membantu orang dengan peluh dan tangan Ibu sendiri tanpa bergantung pada sarana lembaga. Hebat mana, Bu?"
Si Ibu pun terpaku, sementara si Anak melanjutkan
"Ibu sholat tahajud sudah berapa tahun, Bu? Pernahkah lubang-lubang di antara malam-malam itu? Sungguh, belum pernah kudapati Ibu melewatkannya. Sedangkan dia Bu, saat kelelahan bekerja, pernah tak sengaja kudapati dari ceritanya, malam tahajud menjadi terlewatkan. Di mata Allah, lebih mulia mana Ibu atau calon mertuaku?"
Si Ibu pun hanya tersenyum, tak sanggup lagi mengucapkan kata-kata. Sebentar lagi air mata menetes ke pipinya yang mengeriput.
Si Anak pun melanjutkan,
"Ibu, tak usah merasa kecil di hadapan manusia karena belum tentu di mata Allah diri kita lebih hina. Senantiasa kita mendekat pada-Nya, maka sebenarnya Allah pun memandang hamba-Nya tidak dari strata sosial, namun pada ketaatan dan keimanan orang tersebut pada Allah."
---
Kisah ini diadopsi dari kisah nyata, dengan beberapa kalimat yang disesuaikan.
Sepenggal kisah ini mungkin pernah dialami sebagian orang. Bukan bermaksud mengurangi rasa hormat pada calon mertua, akan tetapi kisah ini hanya untuk membesarkan hati Ibunda, bahwa tak selamanya kemuliaan dipandang dari "kasat mata" manusia.
Semoga bermanfaat.
17 Juli 2013
Ngayogyakarta Hadiningrat
"Ibu malu, Nak. Ayah calon(istri)mu itu seorang pembesar di lembaga, sedangkan Ibu cuma seorang petani."
Si Ibu mengungkapkan kegelisahannya. Perasaan tidak sederajat dengan besan ternyata ujung masalahnya.
Si Anak lantas bercerita,
"Jika dia seorang pembesar yang punya jabatan, dan karena itu bisa membantu orang lewat lembaganya, Ibu jauh lebih hebat dari dia. Karena Ibu sendirian saja bisa membantu banyak orang. Ibu memanggul sendiri beras-beras yang ingin Ibu berikan pada orang lain tanpa harus membuat sebuah lembaga. Ibu telah membantu orang dengan peluh dan tangan Ibu sendiri tanpa bergantung pada sarana lembaga. Hebat mana, Bu?"
Si Ibu pun terpaku, sementara si Anak melanjutkan
"Ibu sholat tahajud sudah berapa tahun, Bu? Pernahkah lubang-lubang di antara malam-malam itu? Sungguh, belum pernah kudapati Ibu melewatkannya. Sedangkan dia Bu, saat kelelahan bekerja, pernah tak sengaja kudapati dari ceritanya, malam tahajud menjadi terlewatkan. Di mata Allah, lebih mulia mana Ibu atau calon mertuaku?"
Si Ibu pun hanya tersenyum, tak sanggup lagi mengucapkan kata-kata. Sebentar lagi air mata menetes ke pipinya yang mengeriput.
Si Anak pun melanjutkan,
"Ibu, tak usah merasa kecil di hadapan manusia karena belum tentu di mata Allah diri kita lebih hina. Senantiasa kita mendekat pada-Nya, maka sebenarnya Allah pun memandang hamba-Nya tidak dari strata sosial, namun pada ketaatan dan keimanan orang tersebut pada Allah."
---
Kisah ini diadopsi dari kisah nyata, dengan beberapa kalimat yang disesuaikan.
Sepenggal kisah ini mungkin pernah dialami sebagian orang. Bukan bermaksud mengurangi rasa hormat pada calon mertua, akan tetapi kisah ini hanya untuk membesarkan hati Ibunda, bahwa tak selamanya kemuliaan dipandang dari "kasat mata" manusia.
Semoga bermanfaat.
17 Juli 2013
Ngayogyakarta Hadiningrat