Senin, 21 April 2014

Pak, Kupilih Kau Karena Jiwamu

Seorang laki-laki paruh baya terlihat berpikir dalam. Beliau merupakan pimpinan sebuah madrasah ternama seantero Indonesia. Apa yang beliau pikirkan? Rupanya kualitas lulusan sekolah yang dipimpinnya kini sedikit demi sedikit menurun. Eh, yang turun bukan nilai ujian nasional. Kalau itu mah tak perlu diragukan lagi kredibilitas siswa-siswi di sana. Top Be Ge Te. Termasuk 10 besar di negeri ini.

Yang sedang beliau pikirkan adalah kualitas moral lulusan yang cenderung berbeda dengan lulusan awal-awal tahun dibukanya sekolah ini. Kabar dari beberapa guru terdengar bahwa mulai ada siswi yang lepas jilbab setelah tidak lagi sekolah di sana. Kesantunan siswa yang perlahan pudar. Sesuatu yang tidak beliau harapkan tentunya. Uniknya, beliau dan para guru sekolah ini tak hanya memikirkan murid ketika sekolah di sana saja, tetapi juga setelah mereka lulus. Bagaimana menjaga mereka tetap berjalan dalam jalan kebenaran, bagaimana mereka tetap memegang kebaikan yang diajarkan guru di sekolah ini sebagai bekal kehidupan dewasa hingga akhir hayat kelak.

Segera saja survei kecil-kecilan diadakan, terhadap sistem pendidikan di sekolah,kurikulum, guru, maupun metode mengajar guru. Beliau membandingkan kelebihan dan kekurangan sejak awal sekolah ini berdiri hingga menghasilkan lulusan sampai sekarang. Sampai beliau tersadar dengan apa yang terjadi di sekolah. Mengapa siswa-siswi tak lagi terlihat benar-benar menginternalisasi apa yang disampaikan oleh guru.

Beliau pun menemui seorang lelaki yang dirasa pantas menjadi guru di sana,
"Pak, mengajarlah di sekolahku, kami butuh bantuan Anda."
Lelaki ini terkejut diminta tiba-tiba untuk mengajar di sekolah yang luar biasa bagus ini,
"Bukan saya bermaksud apa-apa, namun Bapak tahu sendiri bahwa saya hanya lulus SMA."Pak Kepala Sekolah ini pun tersenyum menenangkan,
"Justru karena saya tahu itu, saya memilihmu untuk membantu sekolah kami."
Lelaki itu terheran-heran. Pak Kepala Sekolah pun melanjutkan penjelasannya,
"Engkau hanya lulusan SMA, tapi jiwamu menjadi seorang pendidik begitu tulus. Orang seperti dirimu lah yang pantas menjadi guru."Kepala Sekolah masih melanjutkan, "Semenjak sekolah kami mensyaratkan titel S1, S2, S3 sebagai syarat menjadi guru. Kami banyak kehilangan orang sepertimu yang mengajar dengan sepenuh hati karena kecintaan hati pada mendidik. Yang mengajar bukan karena mencari sejumlah uang, tapi mengajar siswa karena keinginan untuk memperbaiki diri mereka menjadi generasi yang mencintai Allah dari lubuk hati."
Tersentuh lelaki itu mendengarnya.
"Baiklah Pak, saya akan membantu semampu saya.
Semoga Allah senantiasa membimbing langkah kita semua."

---
Tersentuh saya mendengar penuturan kisah ini.
Bukan apa-apa, bagi yang mendengar ketulusan jiwa seorang pendidik, yang menyemai Al Qur'an dalam hati seorang siswa, yang paham betul mengapa dia harus mengajar.
Istilahnya, menjiwai betul sebagai pendidik.
Ia akan menyadari dari hati bahwa mengajar itu sebuah bentuk cinta yang lain pada keberlanjutan generasi bangsa. Apakah siswa itu benar-benar bisa melakukan apa yang disampaikan guru. Apakah siswa ini membutuhkan penjelasan mengenai sesuatu. Hal detil mengenai siswa akan menjadi perhatian guru.
Ia akan mengajar sepenuh hati karena panggilan jiwa, begitu orang-orang bilang.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, harapannya mampu meningkatkan jiwa pendidik.Hanya dalam realita, nampaknya tak seluruhnya demikian. Bukan berarti lebih baik tidak naik jenjang pendidikan, justru itu sebagai pemacu semangat untuk meningkatkan pemahaman ilmu agar semakin terasah kecintaan diri terhadap mendidik setelah naik jenjang pendidikan.

#SelamatDatangGenerasiBerjiwaPendidik

Zulfa Fadha'il Izzah
21 April 2014
07.48
Selasar CND, Gedung Merah
Semoga tidak jadi guru yang seperti ini apapun keadaan muridnya^^

Tapi jadi guru yang sesabar ini dan secinta ini dalam mendidik muridnya